بسم الله الرحمن الرحيم
![]() |
Q :
Asaalamu'alaikum
"Kawin paksa" dalam pelestarian hewan atau peternakan itu hukumnya gimana..?
"Kawin paksa" dalam pelestarian hewan atau peternakan itu hukumnya gimana..?
Contoh: lele disuntik hormon lele jantan supaya bertelur, ayam dipaksa dengan pejantan lain supaya bertelur, dan juga bayi tabung pada manusia..
A :
Ini hukum bayi tabung:
Hukum inseminasi buatan di dalam rahim atau di luar rahim dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama:
Jika metodenya adalah dengan mendatangkan pihak ketiga -selain suami istri- baik dengan memanfaatkan sperma, sel telur, atau rahimnya, atau pula dilakukan setelah berakhir ikatan perkawinan, maka metode ini dihukumi haram. Inilah pendapat kebanyakan ulama mu’ashirin (kontemporer) saat ini.
Nadwah Al Injab fi Dhouil Islam, suatu musyawarah para ulama di Kuwait 11 Sya’ban 1403 H (23 Maret 1983) ketika membicarakan hukum bayi tabung memutuskan:
Musyawarah ini memutuskan terkait dengan judul “bayi tabung”, hukumnya boleh secara syar’i jika dilakukan antara suami istri, saat masih memiliki ikatan suami istri, dan dipastikan dengan teliti bahwa tidak bercampur dengan nasab yang lain. Namun ada ulama yang bersikap hati-hati walau dijaga ketat seperti itu tetap tidak membolehkan agar tidak terjerumus pada sesuatu yang terlarang.
Disepakati hukumnya haram jika ada pihak ketiga yang turut serta baik berperan dalam mendonor sperma, sel telur, janin atau rahimnya. Demikian keputusan dari musyawarah tersebut.
Kedua:
Jika metodenya adalah dengan inseminasi buatan di luar rahim antara sperma dan sel telur suami istri yang sah namun fertilisasi (pembuahan) dilakukan di rahim wanita lain yang menjadi istri kedua dari si pemilik sperma, maka para ulama berselisih pendapat. Yang lebih tepat dalam masalah ini, tetap diharamkan karena ada peran pihak ketiga dalam hal ini.
Ketiga:
Jika metodenya adalah dengan inseminasi setelah wafatnya suami, para ulama pun berselisih pendapat. Yang lebih tepat, tetap diharamkan karena dengan wafatnya suami, maka berakhir pula akad pernikahan. Dan jika inseminasi tersebut dilakukan pada masa ‘iddah, itu suatu pelanggaran karena dalam masa ‘iddah masih dibuktikan rahim itu kosong.
Keempat:
Jika inseminasi buatan dilakukan saat masih dalam ikatan suami istri, metode ini dibolehkan oleh mayoritas ulama kontemporer saat ini. Akan tetapi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
a- Inseminasi berlangsung ketika masih dalam status suami istri.
b- Dilakukan atas ridho suami istri.
c- Dilakukan karena dalam keadaan darurat agar bisa hamil.
d- Diperkirakan oleh dokter kemungkinan besar akan membuahkan hasil dengan menempuh cara ini.
e- Aurat wanita hanya boleh dibuka ketika dalam keadaan darurat saja (tidak lebih dari keadaan darurat).
f- Urutannya yang melakukan pengobatan adalah dokter wanita (muslimah) jika memungkinkan. Jika tidak, dilakukan oleh dokter wanita non-muslim. Jika tidak, dilakukan oleh dokter laki-laki muslim yang terpercaya. Jika tidak, dilakukan oleh dokter laki-laki non-muslim. Urutannya harus seperti itu.
Di antara alasan sampai membolehkan inseminasi buatan ini:
– Inseminasi buatan adalah di antara cara mengambil sebab dengan berobat.
– Memiliki anak adalah kebutuhan darurat karena tanpa adanya keturunan hubungan suami istri bisa retak sebab banyaknya percekcokan.
– Majma’ Al Fiqh Al Islami berkata bahwa kebutuhan istri yang tidak hamil dan keinginan suami akan anak dianggap sebagai tujuan yang syar’i sehingga boleh diobati dengan cara yang mubah lewat inseminasi buatan.
– Memang melakukan inseminasi buatan memiliki dhoror (bahaya). Namun tidak adanya keturunan punya mafsadat (kerusakan) lebih besar. Sedangkan dalam kaedah fikih disebutkan,
ذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
“Jika bertabrakan dua bahaya, maka diperhatikan bahaya yang paling besar lalu dipilih bahaya yang paling ringan.” (Al Asybah wan Naszhoir karya As Suyuthi, 1: 217)
Kelima:
Inseminasi buatan dilakukan untuk menghasilkan anak dengan jenis kelamin yang diinginkan. Di sini ada dua rincian:
a- Jika tujuannya untuk menyelamatkan penyakit turunan, misalnya jika anaknya laki-laki atau perempuan, maka bisa membuat janin dalam kandungan itu wafat atau mendapat warisan penyakit dari orang tuanya. Maka penentuan jenis kelamin semacam ini teranggap darurat dan dibolehkan.
b- Jika sekedar ingin punya anak dengan jenis kelamin tertentu lewat inseminasi buatan, maka tidak dibolehkan. Karena untuk memiliki anak sebenarnya mungkin sehingga tetap tidak boleh keluar dari cara yang dibenarkan pada asalnya yaitu lewat inseminasi alami, ditambah lagi dalam inseminasi ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Jadi hanya boleh keluar dari inseminasi alami jika dalam keadaan darurat.
Sedangkan hukum inseminasi pada hewan,
Mengembangbiakkan dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan (artificial insemination).
Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah:
Pertama; Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma.
Setelah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu, kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan:
"Lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, maka para ulama menafsirkan bahwa inseminasi buatan pada hewan juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Allah untuk kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:58).
Kedua; kaidah hukum fiqih Islam "al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi" (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya).
Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.
Namun mengingat risalah Islam tidak hanya mengajak umat manusia untuk beriman, beribadah dan bermuamalah di masyarakat yang baik (berlaku ihsan) sesuai dengan tuntunan Islam, tetapi Islam juga mengajak manusia untuk berakhlak yang baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka patut dipersoalkan dan direnungkan, apakah melakukan inseminasi buatan pada hewan pejantan dan betina secara terus menerus dan permanen sepanjang hidupnya secara moral dapat dibenarkan? Sebab hewan juga makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan (sexual pleasure) dan melestarikan jenisnya di dunia.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara) diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia. Pengembangbiakan boleh dilakukan dengan inseminasi alami maupun dengan inseminasi buatan. Inseminasi buatan pada hewan tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami sebagaimana proses bayi tabung pada manusia tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah.
Wallahu ta'ala a'lam bishawab.
_______________________________________
Copyright © 2017 by Ikhwan Ikatan Ukhuwwah
0 komentar:
Posting Komentar