Dirangkum Oleh: Yusuf Saiful Khaibar
💚
💚
💚
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
Mau nanya..
Apa hukum menempati tanah milik orang untuk usaha..?
(Tanpa sewa dan ijin pemilik)
Jazakumullah khairan katsir
Jawab:
#muhammad satria andika
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, dalam hukum Islam dan hukum negarapun itu dilarang, kecuali tanah tersebut memang tidak ada pemiliknya.
#Kak Nio
https://m.facebook.com/notes/ganti-hukum-buatan-manusia-dengan-hukum-allah/hukum-pertanahan-menurut-syariah-islam/378817518521/
#kang yauman
“Barang siapa yang berbuat zhalim (dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.
[HR Bukhari Muslim]
#Kak Nio
Sepaham aku ya berdasarkan ijma kalau tanah dipagari(ditag) tapu gak dikelolah selama 3 tahun trus ada orang yg ngelolah tuhtanah maka yg magari iniudah gak berhak atas tanah itu.
#Muhammad satria Andika
Bahasannya bisa panjang sih kalau soal hukum pemilikan tanah
Bab tentang ihya'ul mawat saja panjang banget
Lalu tahjir
Kalau yang kak Nio maksud, memang ada haditsnya. Namun itupun pengalihan kepemilikannya diatur negara, ga seenaknya diambil begitu saja
#Kak Nio
Pertama: Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât). Dalam hal ini, syariah Islam mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. berikut:
«مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ ِلأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ»
Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak. (HR al-Bukhari).
«مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR Abu Dawud).
«مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR al-Bukhari).
Hadis ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non-Muslim. Hadis ini menjadi dalil bagi kebolehan (mubah) bagi siapa saja untuk menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu izin kepala negara (khalifah). Alasannya, karena perkara-perkara yang mubah memang tidak memerlukan izin khalifah. (An-Nabhani, 1990: 138).
Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Nabi saw. Beliau menyatakan:
«لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثِ سَنَوَاتٍ»
Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.
Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari tiga tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari tiga tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut.
Ketiga: Kebijakan Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat (iqthâ‘ ad-dawlah). Hal ini didasarkan pada af‘âl (perbuatan) Rasulullah saw., sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau (An-Nabhani, 1990: 120). Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apapun (pagar, tanaman, pengelolaan dll) sebelumnya. Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimikili/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang—karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya—diambilalih oleh negara, lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Keempat: Kebijakan subsidi Negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara (khalifah) untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka
#Muhammad satria andika
Nah kasus seperti ini, sebagai 'warning' saja, bagi siapapun yang memakai tanah orang lain untuk dimanfaatkan, agar tidak sampai demikian.
Assalamualaikum mau tanya juga ibu saya kan punya kios di pasar nah pasarnya itu direlokasikan ceritanya mau dibangun terus kios ibuku kosong gitu aja, kan ada nih orang yg nyaingi ibuku jualan gt tapi dia gak suka sama ibuku, nah habis itu tbtb pembangunan pasar diundur akhirnya saingan ibuku tadi nempatin tempat ibuku gitu aja tanpa ijin padahal ibuku mau nempatin tu kios. Menurut Anda ibu aku salah ga kalo minta hak nya ke orang saingannya itu ?
BalasHapusTerimakasih wassalamu'alaikum